Pemimpin Utama Perang Paderi
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya.
Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid; uku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan Aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalamanMeulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama PangLaot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Cut Nyak Din lahir di Lampadang, wilayah 6 Mukim Sagi 25. Ketika ia lahir, Aceh sedang dilanda perang saudara. Perang dingin antara 6 Mukim dan Merasa sewaktu-waktu bisa berubah jadi perang fisik. Sementara itu di Kesultanan Aceh telah terjadi perebutan kekuasaan. Teuku Ibrahim, wali sultan, tak mau menyerahkan tahta pada penerus Sultan Alaiddin Muhammad Syah, Teuku Sulaeman. Teuku Ibrahim mencari sekutu dan dapatlah ia menarik Panglima Polim Panglima Sagi 22, Ulubalang Neh dari Merasa dan Imam Longbata ke pihaknya. Sementara itu Nanta Setia memilih memihak pada Teuku Sulaeman. Selain Nanta Setia telah berdiri di pihak Teuku Sulaeman juga Teuku Kadli dan Nyak Purba. Saling serang pun terjadi. Peperangan berlangsung terus-menerus, sampai para penduduk kehilangan semangat perangnya akibat penderitaan dan kerugian akibat perang yang semakin besar. Perang terhenti sementara.
Pangeran Diponegoro dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo, putra sulung Sultan Hamengkubowono III, lahir pada tahun 1785. Melihat penderitaan rakyat, hatinya tergerak untuk memperjuangkannya. Perlawanan Diponegoro pemicu utamanya adalah pemasangan tiang pancang membuat jalan menuju Magelang. Pemasangannya melewati makam leluhur Diponegoro yang dilakukan tanpa izin. Karena mendapat tentangan, pada tanggal 20 Juli 1825 Belanda melakukan serangan ke Tegalrejo. Namun dalam serangan tersebut tidak berhasil menemukan Diponegoro, karena sebelumnya Diponegoro telah memindahkan markasnya di Selarong. Dalam perlawanan melawan Belanda Pangeran Diponegoro dibantu Pangeran Mangkubumi, Sentot Pawirodirjo, Pangeran Suriatmojo, dan Dipokusumo. Bantuan dari ulama pun ada, yaitu dari Kyai Mojo dan Kyai Kasan Basri
Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang memimpin perang gerilya di Aceh semasa Pendudukan Belanda. Ia gugur saat pasukan Belanda melancarkan serangan mendadak di Meulaboh.Jenazahnya dimakamkan di daerah Mugo.
Teungku Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam ulama di daerah Tiro) atau Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – AneukGalong, 1891), adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian kebih dikenal dengan Perang Sabil.Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.
I GUSTI PUTU JLANTIK DIANGKAT RAJA .
Setelah pemerintahan dan kondisi masyarakat di Buleleng sudah cukup mantap, maka pada tahun 1929 I Gusti Putu Jlantik, putra I Gusti Putu Geriya, ditetapkan oleh pemerintah Belanda sebagai regent. I Gusti Putu Jlantik bukan saja berpengalaman sebagai pegawai negeri, tetapi juga sejak lama menekuni sastra, adat dan budaya Bali. Beliau ikut memberikan "isi" kepada "Stichting van Liefrinck en van der Tuuk" dengan banyak naskah dalam bentuk rontal (kitab daun rontal dengan huruf Bali). Ditambah dengan nama Gedong Kertya sehingga seperti kita ketahui nama Gedong Kertya akhirnya lebih populer.
Kemudian I Gusti Putu Djlantik pada 29 Juni 1938 diangkat sebagai raja atau zelfbestuurder dengan upacara besar di Pura Besakih bergelar Anak Agung Negara Buleleng bersama-sama dengan 7 raja Bali yang lain.
Jika dicermati, apa yang dilakukan Tuangku Nan Renceh selama perjuangannya, sebagaimana sejarah juga mencatat, tentulah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Trio Haji yang pulang dari Mekah di akhir abad ke 18. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin. Ketiga orang ini memiliki keahlian masing-masing dalam menanamkan paham wahabi di Ranah Minang.
Dari Reformasi ke Reformasi
Perobahan atau pembaharuan pemikiran masyarakat Minangkabau terjadi setiap 50 tahun. Pada awal abad ke-19 mulai reformasi pertama dengan pulangnya 3 orang mujtahid dari Mekkah. Yakni Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik membawa gerakan pembaharuan. Terkenal sebagai Gerakan Paderi. Gerakan itu menimbulkan konflik fisik dengan Kerajaan Pagaruyung yang didukung para penghulu adat. Belanda mengambil kesempatan untuk menduduki Minangkabau setelah utusan Kerajaan Pagaruyung minta bantuan untuk mengalahkan Paderi. Perang antara Belanda dengan Paderi berlangsung selama 17 tahun. Walau Paderi telah dikalahkan, namun posisi penghulu di nagarinya masing-masing menurun. Pada mulanya dalam struktur pemerintahan nagari, posisi penghulu adalah pemimpin dalam seluruh aspek kehidupan. Posisi ulama, dalam Tambo disebut malin (mualim) hanya jadi perangkat dari penghulu.
I Gusti Ketut Jlantik ternyata menjabat cukup lama sebagai punggawa Buleleng, sejak 1898 - 1915 yang mendapat julukan Ratu Punggawa Lingsir. Beliau dikenal pekerja ulet.
Sejak dilantiknya Wilhelmina tahun 1898 sebagai Ratu Keajaan Belanda , kebijakan banyak berubah. Setelah menjalankan kebijakan cultuurstelsel maka sejak 1901 pemerintah Belanda menjalankan "etische politiek". Sejak itu pemerintahan Buleleng lebih banyak dikendalikan oleh pejabat lokal Buleleng, seperti Patih, Sedahan Agung dan para Punggawa, Perbekel beserta masyarakat.
I Gusti Bagus Jlantik sebagai Patih Buleleng dan merangkap punggawa Penarukan sejak 1873 diberikan tugas dan wewenang penuh oleh assistent resident waktu itu bernama F.C. Valck untuk meneruskan kebijakan dalam menjalankan tata pemerintahan di Buleleng. Beliau juga diberikan kuasa untuk mengangkat para punggawa dan perangkat pemerintah yang diperlukan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Iklan Gratis!!!,
Continious???
Continious???
0 komentar:
Posting Komentar